Kerajaan Aceh
Nama : Niken Nur Fitriani
Kelas/ no :
IX IPS 3/ 19
SMA
Negeri 2 Ungaran
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masa lampau, wilayah Indonesia terkenal akan
bidang pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional. Perdagangan
tersebut dilakukan dengan menyusuri pantai-pantai dan melewati beberapa kota
pelabuhan. Dalam makalah ini, saya sebagai penulis akan menguak bagaimana
sejarah mengenai kerajaan Aceh yang berkembang di Pulau Jawa.
Kerajaan Aceh mengalami kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan
pesat yang dicapai kerajaan Aceh ini tidak lepas dari letak kerajaannya yang
sangat strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian Utara dan dekat dengan pelayaran
internasional. Ramainya aktivitas pelayaran ini sangat mempengaruhi
perkembangan kehidupan kerajaan Aceh di segala bidang, seperti halnya dalam
aspek kehidupan politik, aspek ekonomi, social maupun kebudayaannya.
Mengenai kapan berdirinya kerajaan Aceh, memang
belum diketahu secara pasti. Namun, berdasarkan Bustanus salatin (1637M)
karangan nuruddin Ar Raniri yang berisi silsilah sultan-sultan Aceh, serta
kabar datang dari orang Eropa, bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri
dari kekuasaan Kerajaan Pedir.
B. Tujuan
1. Mengetahui
bagaimana Kerajaan Aceh dirintis serta perkembangannya hingga mencapai masa
kejayaan
2.
Mengetahui
kehidupan social, politik dan ekonomi dari Kerajaan Aceh
3.
Mengetahui
factor-faktor apa saja yang mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami kemunduran.
C. Rumusan masalah
1.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan Kerajaan Aceh ?
2.
Bagaimana
kehidupan Sosial, Politik dan Ekonomi dari kerajaan Aceh?
3.
Hal Apa saja
yang mengakibatkan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran?
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan
bermanfaat, baik dari
aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis tergambar dalam materi tulisan
ini. Adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi individu,
masyarakat, dan pemerintah. Semoga menjadi bahan pembelajaran yang baik bagi tunas bangsa yang ingin
mempelajarinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan perkembangan kerajaan
Aceh
Kerajaan
Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia,
tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai
tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan
Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta
negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan
Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur
perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti
menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan
besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang
yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati
utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para
pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama
pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis
untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat
pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali
Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil
menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan
Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya
serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis.
Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah
berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan
Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang
dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa
Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal
dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota.
Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak
sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang
dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim
disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah
Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat
Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan
Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil
yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan
Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan
Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528
karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan
Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan
oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan
anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu
tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547
dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat
28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang
merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din.
Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu
sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard:
2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din,
Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan
perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam
di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563,
ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada
Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh
dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan
sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan
Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan
menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat
Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai
para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar
negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585
dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang
memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607
(Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak
kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607
sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami
peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik,
ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta
mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa
Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat
dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010,
31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan
terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang
berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun
1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah
tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya
Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun
1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan
Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris,
Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan
memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan
kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk
membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan
sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan
dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan
mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri
dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam
bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi
Fashil (http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki,
Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang.
Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar
lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain
batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain
yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh.
Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan,
gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman,
tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama
perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur,
hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan
kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat
pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
B. Kehidupan Sosial, politik dan Ekonomi
1. Kehidupan Sosial
Adalanya penggolongan masyarakat menjadi beberapa
golongan, yaitu teuku (kaum bangsawan), golongan teungku (Kaum ulama yang
memegang), Hulubalang (prajurit) serta
rakyat biasa. Antara Golongan teuku dan Teungku sering timbul persaingan yang
mengakibatkan melemahnya kerajaan Aceh.
2. Kehidupan Politik
Aceh tumbuh secara cepat menjadi kerajaan besar
karena didukung oleh letaknya yang strategis, kemudian Kerajaannya memiliki
Bandar pelabuhan. Aceh juga memiliki daerah yang kaya akan tanaman lada.
Tanaman ini sendiri merupakan komoditi ekspor yang sangat penting. Selain itu,
jatuhnya malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak singgah ke
Aceh, ditambah Jalur pelayaran beralih melalui sepanjang pantai barat Sumatera.
3. Kehidupan Ekonomi
Letaknya
yang sangat strategis, di jalur pelayaran dan perdagangan Selat malakah
menitikberatkan pada , maka Kerajaan Aceh menitikberatkan pada perekonomian
pada bidang perdagangan. Penguasaan atas daerah pantai barat dan timur sumatera
banyak menghasilkan lada. Sementara di Semenanjung Malaka menghasilkan lada dan
timah.
C. Penyebab Mundurnya kerajaan Aceh
Berikut merupakan factor yang mengakibatkan kerajaan
Aceh mengalami kemunduran.
1)
Kekalahan perang
antara Aceh melawan portugis di Malaka pada tahun 1629 M
2)
Tokoh pengganti
Sultan Iskandar Muda tidaklah sebaik yang terdahulu.
3)
Permusuhan yang
hebat diantara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsyudias-Sumatra dan penganut
ajaran Nur ad-Din ar-raniri
4)
Saerah-daerah
yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dari Aceh
5)
Pertahanan Aceh
lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah
perdagangan Aceh. Akhirnya, perekonomian di Aceh menjadi melemah.
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh merupakan kerajaan bercorak Islam yang
letaknya sangat strategis di jalur pelayaran dan perdagangan internasional.
Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas, sehingga Kerajaan ini
sangan maju terutama di bidang perekonomiannya. Perkembangannya sangat pesat
terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah kepemimpinannya,
kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa atas perdagangan
Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.
·
Saran
Makalah yang ditulis adalah
makalah yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dari pembaca demi kemajuan dari makalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim
Edukatif HTS, Modul Sejarah IPS,
Surakarta, CV Hayati Tumbuh Subur